Jakarta, AQLNews.id- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menepis anggapan bahwa dia disebut memberi arahan agar Pemilihan Umum (Pemilu 2024) diterapkan dengan sistem proporsional tertutup. Dirinya menyinggung bahwa dia bukanlah seorang ketua umum partai politik. Hal tersebut disampaikan Jokowi usai menghadiri acara Hari Lahir (Harlah) ke-50 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Jumat (17/2/2023). “Ndak, ndak, ndak, ndak, ndak. Saya bukan ketua partai,” ujar Jokowi saat ditemui dilokasi.
Jokowi menjelaskan, baik sistem proporsional tertutup maupun terbuka, sama-sama memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Dia membebaskan masing-masing partai politik untuk memilih pilihan mereka. “Pemerintah, perlu saya sampaikan, kalau dilihat terbuka itu ada kelebihan ada kelemahannya. Tertutup ada kelebihan ada kelemahannya. Silakan pilih. Itu urusan partai,” imbuhnya. Adapun wacana sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup terus dibicarakan hingga kini.
Sebanyak delapan partai politik (parpol) secara terbuka mengumumkan penolakan wacana tersebut diterapkan pada Pemilu 2024. Kedelapan parpol itu meliputi, Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hanya satu partai yang sejauh ini mendukung sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup, yaitu PDI-P.
Bergulirnya isu sistem proporsional tertutup agar diterapkan pada Pemilu 2024 bermula dari langkah enam orang yang mengajukan gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini telah teregistrasi di MK dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Keenam penggugat, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI). Para pemohon mengajukan gugatan atas Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017.
Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Dari gugatan ini pula, para pemohon meminta MK mengganti sistem proporsional terbuka yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan telah menimbulkan masalah multidimensi seperti politik uang. Untuk itu, para pemohon menginginkan MK dapat mengganti sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup.