Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar kegiatan rapat evaluasi terkait progres implementasi rencana aksi penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) bersama Kementerian Agama (Kemenag) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Jumat (27/1). Kegiatan yang berlangsung di Gedung Merah Putih, Jakarta, dihadiri oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Kepala BPKH Fadlul Imansyah beserta jajaran.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, pertemuan ini merupakan bagian dari kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana tertuang dalam pasal 9 UU Nomor 30 Tahun 2002 Juncto UU Nomor 19 Tahun 2019.
“Setelah memitigasi risiko dan melakukan kajian terhadap tata kelola penyelenggaran haji. Pertemuan ini kita bersama-sama Kementerian Agama dan BPKH mengimplementasikan progres atau hasil dari rencana aksi BPIH ini,” kata Ghufron.
Selanjutnya, Ghufron meminta Kemenag dan BPKH harus tetap menindaklanjuti rekomendasi yang belum terlaksana. Di antaranya terkait Undang-Undang Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji serta Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. KPK meminta Kemenag untuk mengharmonisasi kedua undang-undang tersebut.
Sebelumnya, KPK juga telah menyelesaikan pendampingan implementasi atas rencana aksi perbaikan yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama dan BPKH pada kurun waktu 2020 hingga 2022.
“Oleh karenanya, KPK merasa perlu hadir untuk membantu dari sisi kebijakan dan regulasi atas mata anggaran ibadah haji yang masih bisa diefisienkan oleh Kemenag melalui BPKH. Rekomendasi yang telah KPK berikan menjadi pertimbangan dalam memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji,” jelas Ghufron.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menambahkan, dari kajian KPK diperlukan adanya harmonisasi regulasi dan hubungan kelembagaan antara BPKH dan Kementerian Agama. KPK akan terus melakukan pendampingan implementasi atas seluruh rencana aksi pada Kemenag dan BPKH.
Di sisi lain, terdapat masalah di mana kinerja penempatan dan investasi yang belum terlalu optimal, sehingga perolehan nilai manfaat belum optimal. Pun, pemilihan Bank Penerima Setoran – Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS-BPIH) pengelola nilai manfaat berpotensi rawan korupsi karena tidak semuanya melalui proses lelang tertapi berdasarkan permohonan dari BPS-BPIH.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga mengungkapkan, proses kenaikan biaya ibadah haji merupakan suatu bentuk empati dan simpati kepada calon jamaah haji untuk memiliki pembiayaan haji yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Pada komposisi BPIH, Yaqut menjelaskan BPIH terdiri dari dua komponen biaya, yaitu Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dan Nilai Manfaat. “BPIH ini dibayarkan oleh jemaah haji, sedangkan Nilai Manfaat dibayarkan oleh pemerintah melalui BPKH,” kata Yaqut.
AQLNews.id – Jakarta Kepala BPKH Fadlul Imansyah menjelaskan, terdapat pertumbuhan aset sekitar Rp20 triliun akibat tiadanya keberangkatan haji pada 2020 dan 2021 saat pandemi COVID merebak. Kemudian, pada 2022, Fadlul mengatakan alokasi dana yang dijadikan nilai manfaat atau subsidi yakni sebesar Rp6 triliun dengan kuota haji hanya 50% saat itu.
“Artinya, jika pada 2023, kuotanya menjadi kuota penuh sebesar 100% atau sekitar 200 ribuan calon jemaah haji, maka total nilai manfaat yang harus disediakan sekitar Rp12 triliun,” rinci Fadlul.
Dengan demikian, pada 2024 akan ada sekitar Rp9 triliun yang harus diambil dari dana pokok pengelolaan dengan asumsi biaya manfaatnya masih sebesar Rp12 triliun tanpa ada kenaikan BPIH. Berdasarkan hitungan itu, usulan komposisi biaya yang ditanggung jemaah dan penggunaan nilai manfaat (NM) menjadi 70:30 atau ditanggung jemaah sebesar Rp69,19 juta (30%).