Jakarta, AQLNews.id – Uni Eropa menggugat Indonesia di WTO lantaran kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Hal ini ditanggapi Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) periode 2005-2013, Pascal Lamy.
Pascal menyebut pemerintah Indonesia mempunyai beberapa alasan untuk melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri.
Misalnya, sebagai upaya untuk melindungi lingkungan dengan membatasi kegiatan eksploitasi secara berlebihan. Alasan lain adalah untuk mengamankan pasokan bijih nikel demi kepentingan dalam negeri.
“Dalam hal ini lebih seperti proteksionisme di mana kita melindungi produsen dalam negeri dari persaingan dan bukan merupakan pencegahan yaitu melakukan tindakan pencegahan lingkungan yang diperlukan,” ujarnya dalam acara Closing Bell CNBC Indonesia pekan ini.
Di sisi lain, ia menyadari proses pengajuan banding Indonesia atas keputusan panel WTO terkait kebijakan larangan ekspor nikel kemungkinan tidak berjalan mulus lantaran Amerika Serikat keluar dari keanggotaan WTO. Namun ia meyakini Indonesia dan Uni Eropa akan tetap menyelesaikan sengketa ini dengan sebaik-baiknya.
“AS sudah keluar dari fase penyelesaian sengketa WTO. Kabar baiknya negara seperti Indonesia dan Uni Eropa masih menerapkan disiplin dan proses ajudikasi, saya pikir ini adalah proses penyelesaiannya,” ujar dia.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyampaikan pemerintah memiliki komitmen yang kuat untuk melanjutkan kebijakan peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Utamanya melalui hilirisasi diberbagai sektor potensial termasuk hasil tambang dan olahannya.
Hal tersebut merespon perlakuan Uni Eropa ke Indonesia terkait dengan larangan ekspor bijih nikel RI yang memicu gugatan dari Eropa ke World Trade Organization (WTO).
Zulhas mengatakan pemerintah secara resmi telah mengajukan banding atas putusan WTO pada 8 Desember 2022 lalu, yang menyatakan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi nikel melanggar aturan perdagangan internasional.
Adapun, Indonesia dan Uni Eropa masih menunggu terbentuknya hakim oleh Badan Banding WTO yang saat ini belum ada lantaran terdapat blokade pemilihan Badan Banding oleh salah satu Anggota WTO yakni Amerika Serikat.
“Dengan adanya blokade tersebut, sudah ada 25 kasus banding yang menunggu antrian untuk berproses (litigasi) di Badan Banding WTO,” ujar Zulhas kepada CNBC Indonesia.
Meski demikian, Pemerintah Indonesia dan kuasa hukum telah menyiapkan argumen untuk menguji keputusan panel awal yang dianggap keliru dalam menginterpretasikan aturan WTO. Pasalnya, Indonesia meyakini kebijakan hilirisasi tidak melanggar komitmen Indonesia di WTO dan Indonesia akan tetap konsisten dengan aturan WTO.
Menurut Zulhas, kebijakan peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi menuju mata rantai nilai yang lebih tinggi akan tetap menjadi prioritas. Terutama untuk memastikan keberlanjutan pembangunan nasional menuju Indonesia 2045.
“Untuk itu pemerintah siap untuk melakukan pembelaan atas sektor ataupun produk Indonesia dan mengamankan dari sisi akses pasar Indonesia di pasar global,” pungkasnya.